Niat untuk Menjadi Spesial Ternyata Tidak Spesial
Jika ini adalah akhir, maka izinkan aku menceritakan ini kepada kalian. Meskipun aku tidak yakin akan tulisan ini sampai dan dibaca oleh seseorang yang lainnya selain diriku sendiri. Dari cerita ini, aku tidak menuntut apa pun, termasuk kepada seseorang yang akan menjadi subjek dari cerita ini. Sebenarnya, aku tidak punya banyak teman. Hari di mana aku menuliskan ini, aku bahkan sendirian tanpa seorang teman. Aku sempat memiliki seorang teman yang sangat dekat dan spesial. Dia sangat baik dan juga keras kepala. Kedekatan kami bermula saat masih kuliah, saat itu ia masih menjadi mahasiswa baru, dan secara kebetulan ia pun tinggal di satu kosan yang sama denganku. Sebenarnya, pada perjumpaan pertama, aku tidak melihatnya sebagai anak yang baik, dan aku sama sekali tidak memiliki niatan untuk mendekatinya sampai seseorang menegur tindakanku yang mungkin sangat kelihatan bahwa aku sangat tidak suka padanya.
Kupikir diawal aku
telah melakukan kesalahan dengan menilai bahwa ia bukan orang baik. Maka, aku pun
yang mendekatinya lebih dulu dan mencoba mengenal lebih mendalam. Kami pun
menjadi dekat dengan cepat dan selama ia menjalani dua semester awal kuliah,
kami begitu akrab satu sama lain. Tapi, pada akhirnya sekarang aku tidak
berkontak sama sekali dengan temanku ini. Setelah melewati begitu banyak hal,
sejujurnya aku merasa tidak memiliki banyak kesamaan, kecuali aku yang terus
berusaha menyamakan diri dengannya. Seiring berjalannya waktu, perbedaan antara
kami pun semakin terlihat. Dia tidak bisa memahamiku sama sekali, dan aku pun
juga sama. Aku sering memaksakan diri padanya, sampai akhirnya aku kadang
merasa lelah, seolah berjalan sendirian dalam hubungan pertemanan ini. Hubungan
kami semakin memburuk ketika sudah tidak bisa bersama-sama satu sama lain.
Pada awalnya,
aku berharap ia bisa menjadi temanku sampai kapan pun. Dia spesial, dan aku pun
percaya bahwa aku juga spesial baginya. Aku mencintai ia sebagai teman dan
keluargaku. Aku tahu hubungan kami sudah berakhir, dan tidak ada alasan bagi
kami untuk kembali berteman. Seharusnya tidak ada akhir dari sebuah hubungan
pertemanan, namun tidak demikian dengan hubungan kami. Di antara kami berdua,
akulah orang yang paling patut disalahkan atas berakhirnya hubungan ini. Aku yang
menyuruhnya pergi dalam kemarahan, dan aku juga yang berharap itu adalah mimpi
buruk yang tak pernah nyata. Sekarang aku sendiri sudah tidak yakin bahwa aku masih spesial baginya. Dia bahkan memintaku untuk tidak pernah menghubunginya lagi.
0 comments