Jika Aku Bertemu dengan Diriku di Masa Lalu

by - Agustus 30, 2023

Membaca kembali buku ‘I want to die but i want to eat Tteokpokki – Baek Se Hee’, membuatku bersemangat menuliskan sesuatu tentang diriku sendiri. Aku tahu, selama ini biasanya aku hanya akan menulis di saat cuaca, tubuh, hati dan pikiranku terasa gelap. Sejujurnya, aku sudah mulai tidak suka hal yang berat, gelap, dramatis, dan berlebihan. Seolah aku seseorang yang hanya hidup dalam lingkaran hitam. Intinya, aku akan terus belajar dan berusaha untuk berpikiran baik. Suatu hari, aku pernah membayangkan apa jadinya jika aku bertemu dengan diriku sendiri di masa lalu? Aku ingin menyampaikan padanya bahwa ada hal-hal yang sebenarnya tidak perlu ia lakukan. Ada begitu banyak kebodohan yang ia lakukan sehingga menyebabkan semuanya menjadi sangat berantakan sekarang. Meskipun aku menyadari bahwa tidak ada yang dapat kita ubah dari masa lalu.

Masa ketika aku begitu kesulitan menentukan pilihanku. Masa ketika aku hanya menaruh harap pada orang lain dan tidak pernah percaya pada diri sendiri. Masa di mana aku hanya berfokus pada kekuranganku dan kelemahanku yang menjadi pusat utama penderitaanku. Aku hidup dengan terus-menerus berpikiran bahwa aku tidak bisa melakukan apa pun. Dan ketika aku menyadarinya bahwa semua itu adalah kesalahan, aku tahu itu sudah amat sangat terlambat. Sial, mengapa aku baru menyadarinya sekarang? Kupikir itu bentuk kesialan paling nyata dan menyakitkan di hidupku. Di masa lalu, sebuah kutipan yang menjadi peganganku adalah jika di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Mungkin alasanku kenapa memilih mempercayai kutipan tersebut sebagai bentuk penghiburan diri.

Ada saat di mana aku memilih menyalahkan diriku sendiri di masa lalu, dengan pura-pura lupa bahwa ia sudah mengalami masa sulit dan siksaan diri yang tidak ada habisnya. Bahkan ketika menuliskan sesuatu seperti di paragraf kedua di atas, bukankah aku masih saja egois dengan diriku sendiri di masa lalu? Trauma masa kecil, ibuku yang terus-menerus memberi peringatan bahwa duniaku berbeda dari yang lain, saudaraku yang sering kasar dan melakukan penolakan ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa akulah saudaranya. Mungkin ini seperti kebohongan, tapi itu aku rasakan sepanjang bersama dengannya di masa lalu. Itu seperti pukulan keras yang bertubi-tubi aku terima, aku diam dalam kesakitan, dan menyadari bahwa aku tidak cukup layak untuk semuanya. Lalu, aku sering bertanya dan mendongak ke atas, “Sebenarnya untuk apa aku dilahirkan ke dunia ini?” Aku pikir tanpa melupakan satu persatu ingatan buruk, jika diriku yang sekarang bertemu dengan diriku di masa lalu, mungkin ia akan menangis. Ya, sebaiknya ucapkan terima kasih, dengan begitu saja sudah cukup.

You May Also Like

0 comments