Jika Aku Bertemu dengan Diriku di Masa Lalu
Membaca kembali
buku ‘I want to die but i want to eat Tteokpokki – Baek Se Hee’, membuatku
bersemangat menuliskan sesuatu tentang diriku sendiri. Aku tahu, selama ini biasanya
aku hanya akan menulis di saat cuaca, tubuh, hati dan pikiranku terasa gelap.
Sejujurnya, aku sudah mulai tidak suka hal yang berat, gelap, dramatis, dan
berlebihan. Seolah aku seseorang yang hanya hidup dalam lingkaran hitam.
Intinya, aku akan terus belajar dan berusaha untuk berpikiran baik. Suatu hari,
aku pernah membayangkan apa jadinya jika aku bertemu dengan diriku sendiri di
masa lalu? Aku ingin menyampaikan padanya bahwa ada hal-hal yang sebenarnya
tidak perlu ia lakukan. Ada begitu banyak kebodohan yang ia lakukan sehingga
menyebabkan semuanya menjadi sangat berantakan sekarang. Meskipun aku menyadari
bahwa tidak ada yang dapat kita ubah dari masa lalu.
Masa ketika aku
begitu kesulitan menentukan pilihanku. Masa ketika aku hanya menaruh harap pada
orang lain dan tidak pernah percaya pada diri sendiri. Masa di mana aku hanya
berfokus pada kekuranganku dan kelemahanku yang menjadi pusat utama
penderitaanku. Aku hidup dengan terus-menerus berpikiran bahwa aku tidak bisa
melakukan apa pun. Dan ketika aku menyadarinya bahwa semua itu adalah
kesalahan, aku tahu itu sudah amat sangat terlambat. Sial, mengapa aku baru
menyadarinya sekarang? Kupikir itu bentuk kesialan paling nyata dan menyakitkan di hidupku. Di masa lalu, sebuah kutipan yang menjadi peganganku
adalah jika di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Mungkin alasanku kenapa
memilih mempercayai kutipan tersebut sebagai bentuk penghiburan diri.
Ada saat di mana
aku memilih menyalahkan diriku sendiri di masa lalu, dengan pura-pura lupa
bahwa ia sudah mengalami masa sulit dan siksaan diri yang tidak ada habisnya. Bahkan
ketika menuliskan sesuatu seperti di paragraf kedua di atas, bukankah aku masih
saja egois dengan diriku sendiri di masa lalu? Trauma masa kecil, ibuku yang
terus-menerus memberi peringatan bahwa duniaku berbeda dari yang lain, saudaraku
yang sering kasar dan melakukan penolakan ketika dihadapkan pada kenyataan
bahwa akulah saudaranya. Mungkin ini seperti kebohongan, tapi itu aku rasakan sepanjang bersama dengannya di masa lalu. Itu seperti pukulan keras yang bertubi-tubi aku terima,
aku diam dalam kesakitan, dan menyadari bahwa aku tidak cukup layak untuk
semuanya. Lalu, aku sering bertanya dan mendongak ke atas, “Sebenarnya untuk
apa aku dilahirkan ke dunia ini?” Aku pikir tanpa melupakan satu persatu ingatan buruk, jika diriku yang sekarang bertemu dengan
diriku di masa lalu, mungkin ia akan menangis. Ya, sebaiknya ucapkan terima
kasih, dengan begitu saja sudah cukup.
0 comments