Ego Dua Anak Manusia

by - Oktober 19, 2023

Ini kisah persahabatan dua anak manusia yang berakhir melodramatis. Sebelumnya mereka adalah teman sejati dengan khayalan yang tinggi bahwa persahabatan mereka akan terus bersama sampai nanti.

"Datanglah di hari kematianku," begitu kata seorang yang satunya. Ia mengucapkan itu dengan penuh makna yang mendalam, seolah ia sudah tidak punya kalimat lain untuk membuktikan bahwa ia benar-benar tulus dengan pertemanan yang ia mulai selama ini.

"Tidak, hentikan omong kosongmu itu." Jawab teman dekatnya yang tak kalah frustasi menghadapi pertengkaran demi pertengkaran yang semakin pelik. Ia sendiri sudah pasrah, dan dengan amarah yang sama-sama menguasai keduanya, pada akhirnya pertemanan mereka tak bisa diselamatkan.

"Pergi! Dan jangan pernah muncul kembali dalam hidupku."

Selanjutnya, masing-masing dari mereka berdua tidak pernah tahu akan keputusan itu; apakah mereka sudah mengambil satu keputusan yang tepat atau justru kesalahan besar. Sekali lagi, mereka tidak tahu dan tak akan pernah tahu sebelum keduanya merasakan penyesalan yang nantinya selalu mengikutinya seperti bayang-bayang dirinya sendiri. Satu hal yang keduanya sadari bahwa pertemanan mereka sudah retak dan salah untuk sampai kapan pun. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali pulang; memeluk diri sendiri, atau melanjutkan hidup dan menganggap bahwa semuanya selesai, dan seharusnya tidak pernah ada.

Setelah begitu lama sunyi, dan menepi dari drama pertemanan yang rumit itu, diam-diam ada satu hati yang tak pernah benar-benar pergi. Hampir setiap saat ia selalu membayangkan pertemanan itu selamat dari malapetaka yang membuatnya berantakan, atau kembali dengan memulai pertemanan yang lebih sederhana. Sialnya itu satu hal yang sudah tidak mungkin terjadi. Seorang yang satunya bukan hanya pergi, namun ia melanjutkan perjalanan hidup untuk masa depan diri yang lebih tertata rapi sebagai pribadi yang lebih bermakana di dunia ini.

Sementara hati yang tak pernah benar-benar pergi itu terus meratapi diri, menjadikan diri sebagai objek yang menghancurkan sebuah hubungan pertemanan. Mungkin saja itu satu bentuk penyesalan diri, atau ia sudah tidak tahan dengan kehidupannya yang monoton, penuh luka dan keputusasaan. Ia selalu merasa ingin kembali, padahal ia sebenarnya sudah tak punya tempat lagi.

You May Also Like

0 comments